Dari Amirul Mukminin, Umar bin Khathab r.a., ia berkata, “Aku mendengar  Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya segala amal perbuatan bergantung  kepada niatnya dan tiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.  Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan  mendapatkan pahala hijrah karena Allah dan Rasulullah. Barang siapa yang  hijrahnya karena faktor duniawi yang akan ia dapatkan atau karena  wanita yang akan ia nikahi, maka ia dalam hijrahnya itu ia hanya akan  mendapatkan apa yang ia niatkan.” (H.R. Bukhari-Muslim)
Bunyi hadits di atas adalah:
عَنْ  أَمِيرِ اْلمُؤمِنِينَ أبي حَفْصٍ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ  عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  يَقُولُ إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ  مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى الله ورسوله فهجرته إلي الله  ورسوله َمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ  يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ (رَوَاهُ البُخَارِي  وَمُسْلِمُ)
Tentang Hadits
Hadits ini hanya diriwayatkan  oleh satu alur sanad, yaitu alur sanad Yahya bin Said Al-Anshari dari  Muhammad bin Ibrahim At-Taimi, dari ‘Alqamah bin Abi Waqash Al-Laitsi,  dari Umar bin Khathab.
Setelah Yahya bin  Said Al-Anshari inilah kemudian banyak ulama dan ahli hadits yang  meriwayatkan. Diriwayatkan lebih dari 200 orang rawi. Ada yang  mengatakan bahwa yang meriwayatkan dari Yahya ini sekitar 500 orang. Di  antara ulama yang meriwayatkan dari Yahya adalah Imam Malik, Ats-Tsauri,  Al-Auza’i, Ibnu Mubarak, Al-Laits bin Saad, Hamad bin Zaid, Syu’bah,  Ibnu ‘Uyainah dan ulama lainnya.
Para ulama sepakat mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits shahih.
Menurut  Imam Ahmad bahwa hadits ini adalah satu dari tiga hadits dasar-dasar  Islam. Imam Syafii mengatakan bahwa hadits ini adalah sepertiga ilmu.  Hadits ini masuk pada 70 bab fiqih. Abdurrahman bin Mahdi berkata, “Jika  aku akan menulis satu bab, maka aku meletakkan hadits ini pada tiap  bab. Barang siapa yang mau menyusun buku, maka mulailah dengan hadits  ini.
Para ulama lain juga selalu menyebutkan hadits ini pada  mukadimah kitabnya, seperti Imam Bukhari pada kitab Hadits Shahihnya.  Karena itu pulalah penulis memulai rubrik ini dengan hadits niat.
Penjelasan Hadits
Hadits  ini menegaskan bahwa diterimanya amal perbuatan manusia tergantung  keikhlasan kepada Allah. Al-Qur’an juga menegaskan dalam surat  Al-Bayyinah ayat 5 dan Az-Zumar ayat 2-3.
Ada dua penyakit hati  yang bisa merusak amal manusia. Pertama adalah penyakit ujub dan yang  kedua adalah penyakit riya. Dua penyakit ini akan mengakibatkan amal  perbuatan manusia tidak bernilai.
Diriwayatkan oleh Al-Qasim bin  Al-Mukhaimarah bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Allah tidak akan  menerima amal perbuatan yang di dalamnya masih terdapat riya walau  sebesar biji sawi.”
Para ulama fiqih menegaskan bahwa niat adalah  pembeda antara ibadah dan adat, membedakan antara satu ibadah dengan  ibadah lainnya; misalnya mandi, bisa mandi untuk kesegaran, untuk  kebersihan atau mandi wajib untuk menghilangkan hadats besar atau mandi  sunat shalat Jum’at.
Jadi, niat dalam Islam merupakan asas ibadah  dan tempat niat itu ada di hati. Apabila seseorang niat shalat atau  puasa di dalam hati, tanpa dilafalkan oleh lisan, maka sudah cukup.
Ada  ibadah-ibadah yang tidak dapat diwakili, karena لِكُلِّ امْرِئٍ مَا  نَوَى (seseorang akan mendapatkan apa yang ia niatkan) dan apa pula  beberapa ibadah yang boleh diwakilkan, seperti zakat atau sembelih  kurban atau menghajikan orang yang sudah meninggal.
Al-Fudhail  bin ‘Iyadh mengomentari ayat, لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُم أَحْسَنُ عَمَلاً  bahwa maksud dari amal yang ihsan (paling baik) adalah amal yang akhlash  (paling ikhlas) dan yang ashwab (paling benar). Ada dua syarat  diterimanya amal ibadah manusia, ikhlas dan benar. Amal perbuatan,  termasuk ibadah yang dilakukan dengan ikhlas karena Allah semata tetapi  pelaksanaannya tidak sesuai dengan syariat Islam, maka amal tersebut  tidak akan diterima Allah. Begitu juga sebaliknya, jika perbuatan dan  ibadah dilakukan sesuai dengan syariat, tetapi yang melaksanakannya  tidak semata-mata karena Allah, maka amalnya tidak diterima.
Seseorang  yang niat ikhlas ketika membangun masjid, tetapi dana untuk membangun  masjid tersebut didapat dengan cara yang haram dan itu bertentangan  dengan tuntunan agama, maka amalnya ditolak Allah. Seseorang yang  niatnya ikhlas untuk shalat Subuh, tetapi pelaksanaannya sengaja  dilebihkan rakaat karena semangat sampai 3 atau 4 rakaat, maka ibadahnya  tidak diterima Allah. Semua ibadah atau perbuatan yang niatnya baik,  tetapi dilakukan tidak berdasarkan syariat, maka tidak akan diterima  oleh Allah. Begitu juga sebaliknya.
Itulah yang dimaksud dengan  amal shalih seperti dalam surat Al-Kahfi ayat 110 disebutkan, “Barang  siapa berharap berjumpa dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan  amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam  beribadah kepada Tuhannya”.
Umat Islam perlu memahami makna  hijrah yang lebih luas, yaitu meninggalkan negeri yang tidak dijalankan  syariat ke negeri yang dijunjung syariat Islam. Selain ditentukan Allah  dan Rasul-Nya, keutamaan tempat juga ditentukan oleh penghuninya. Dan  keutamaan muslim ditentukan oleh ketaatan dan ketaqwaannya.
Abu  Darda pernah mengirim surat kepada Salman Al-Farisi, “Berangkatlah ke  sini, ke bumi muqaddas, bumi yang suci.” Salman pun membalas surat itu  dan mengatakan, “Sesungguhnya bumi tidak akan membuat orang menjadi  mulia, tetapi seorang hamba akan mulia dengan amalnya.
Salman telah dipersaudarakan oleh Rasulullah saw dengan Abu Darda. Salman lebih menguasai hukum fiqih daripada Abu Darda.
Untuk  menguatkan pengertian ini, Allah menegaskannya ketika Dia berfirman  kepada Musa a.s, “Aku akan perlihatkan kepadamu bumi orang-orang fasik”  (Al-A’raf: 145), yaitu negeri para begundal bertubuh besar. Kemudian  dengan perubahan penghuninya, negeri itu menjadi negeri orang-orang  beriman.
Sosial Kemasyarakatan
Penggunaan kata امْرِئٍ  (seseorang) pada وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى merupakan suatu  ungkapan yang tepat, karena ungkapan ini mencakup wanita dan pria. Ini  menunjukkan bahwa Islam tidak membedakan antara pria dan wanita dalam  menjalankan syariah, seperti juga disebut dalam surat An-Nisa ayat 124,  “Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun  wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam  surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun.”
Islam  mengarahkan peran sosial kepada tugas pria dan wanita secara  proporsional seperti disebut dalam surat At-Taubah ayat 71, “Dan  orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah)  menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang  ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat  dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi  rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Tidak  ada perbedaan pahala bagi pria atau wanita ketika beramal atau  melakukan perbuatan baik. Semuanya sama di sisi Allah, siapa yang  beramal ikhlas dan sesuai syariat, pria atau wanita, pasti akan  mendapatkan kebaikan.
Ketika Barat memberikan kebebasan multak  dengan emansipasinya kepada wanita atau Timur yang membelenggu hak-hak  wanita Islam, Islam justru meletakkan wanita pada tempat yang layak  sesuai dengan kodrat kewanitaannya. Islam tidak membelenggu kebebasan  dan kemerdekaan wanita dan juga tidak melepaskannya sama seperti pria,  tanpa memperhatikan kodrat kewanitaan yang berbeda dengan pria, seperti  haidh, melahirkan, menyusui dan lain-lain.
Dari ungkapan  Rasulullah saw. “فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى الله ورسوله فهجرته إلي  الله ورسوله menunjukkan bahwa perintah hijrah pada masa Rasulullah saw.  adalah perintah yang sangat penting dan melaksanakan perintah tersebut  merupakan bagian dari strategi politik dakwah. Allah memerintahkan  Rasulullah dan sahabat untuk membina masyarakat Islam di kota Yatsrib.
Hijrah  secara bahasa berarti “tarku” (meninggalkan). “Hijrah ila syai” berarti  “intiqal ilaihi ‘an ghairi” (berpindah kepada sesuatu dari sesuatu).
Menurut istilah, hijrah berarti “tarku maa nahallahu ‘anhu” (meninggalkan sesuatu yang dilarang Allah)
Hijrah  menurut sejarah penetapan hukum (tarikh tasyri) adalah berpindahnya  kaum muslimin dari kota Mekah ke kota Madinah, dan juga dari kota Mekah  ke kota Habasyah.
Pengertian hijrah secara khusus dibatasi hingga  penaklukan kota Mekah. Setelah itu hijrah dengan makna khusus sudah  berakhir, maka tinggallah perintah hijrah dengan makna umum, yaitu  berpindah dari negeri kafir ke negeri iman. Makna kedua ini berlaku  setelah penaklukan kota Mekah.
Hijrah dalam sejarah perjuangan  Rasul merupakan strategi dakwah Islam. Para sahabat berlomba-lomba  melakukan hijrah, baik dari kota Mekah maupun dari negeri dan kawasan  sekitar Mekah, karena mereka memahami bahwa hijrah adalah bagian dari  syariat dan strategi dakwah Rasul.
Melaksanakan perintah hijrah  merupakan bagian dari strategi politik dakwah dan hukumnya wajib bagi  para sahabat yang berada di luar kota Madinah. Allah memerintahkan  Rasulullah saw dan sahabat untuk membina masyarakat Islam di kota  Yatsrib. Hijrah dalam sejarah perjuangan Rasul merupakan strategi dakwah  Islam. Para sahabat berlomba-lomba melakukan hijrah, baik dari kota  Mekah maupun dari negeri dan kawasan sekitar Mekah, karena mereka  memahami bahwa hijrah adalah bagian dari syariat dan strategi dakwah  Rasul.
Rasulullah saw. menjanjikan pahala yang besar bagi yang  berhijrah dan menjadi catatan atau aib jika seorang muslim tidak  berhijrah. Semangat hijrah adalah semangat mentaati pemimpin dan  semangat melaksanakan kebijakan dakwah. Kesempatan untuk mendapatkan  keutamaan hijrah pun dibatasi dengan takluknya kota Mekah. Rasulullah  saw. bersabda, “Tidak ada lagi hijrah setelah penaklukan kota Mekah.  Yang masih ada adalah jihad dan niat.” Kenapa, karena memang strategi  hijrah pada masa Rasul saat itu adalah mengumpulkan kekuatan dari kota  Mekah ke kota Madinah.
Disebutkan dalam riwayat dengan sanad yang  lemah dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, “Suatu perkataan tidak akan  bermanfaat kecuali dengan perbuatan. Suatu perkataan dan perbuatan tidak  bermanfaat kecuali dengan niat. Tidak akan bermanfaat suatu perkataan,  perbuatan dan niat kecuali jika sesuai dengan syariat Islam.”
Kerja  dakwah yang sangat besar ini harus dipikul oleh banyak orang. Agar  lebih rapih dan hasilnya maksimal, maka diperlukan pembagian kerja yang  proporsional. Sehingga setiap job dan lapangan dakwah diisi oleh orang  yang paham dan ahli. Jenis job dan pekerjaan itu sendiri tidaklah sama  antara satu dengan yang lain. Ada yang menjadi pemimpin, ada yang  dipimpin. Ada panglima, ada tentara. Ada ketua, ada anggota. Ada yang  menjadi panitia, ada yang menjadi penceramah. Ada yang tampil, ada yang  tidak tampil. Ada yang memimpin rapat, ada yang menyiapkan teh dan  seterusnya. Semua di sisi Islam adalah sama, yaitu ibadah dan taat  kepada Allah. Semua itu bergantung pada niat pelakunya. Jika semua  bekerja dengan niat yang ikhlas, maka bangunan Islam akan tampak megah  dan menarik. Tetapi jika masing-masing ingin tampil dan ingin dikenal,  maka akan terlihat Islam penuh dengan umat yang saling baku hantam satu  dengan yang lain.
Sangat bijak apa yang dikatakan oleh Ibnu  Mubarak, “Berapa banyak pekerjaan yang kecil dan ringan, tetapi menjadi  besar pahalanya karena niat. Dan berapa banyak pekerjaan yang besar,  tetapi menjadi tidak bernilai karena niatnya tidak ikhlas.”
Penutup
Pemahaman  yang luas dan dalam terhadap ajaran Islam dapat menjaga dan  meningkatkan ma’nawiyah. Keikhlasan tidak boleh bergantung kepada orang  lain, tetapi berdasarkan pemahaman bahwa Allahlah yang melihat, memberi  balasan dan menghukum, bukan orang lain.
Jika kita menyaksikan  saudara muslim kita yang lebih senior melakukan kekhilafan atau  melanggar komitmen, maka hal itu tidak akan mengendorkan semangat dan  keikhlasan dalam bekerja. Atau jika aktivis sudah banyak berbuat untuk  dakwah, maka keikhlasannya tidak akan terganggu dan rusak hanya karena  diberikan jabatan atau tidak.
Jika aktivis dakwah melihat para  yuniornya tidak menghormati dan tidak menghargainya, maka dengan niat  yang ikhlas dia tidak akan tersinggung, karena dia yakin bahwa apa yang  pernah ia lakukan akan dicatat dan diberikan ganjaran oleh Allah,  diketahui manusia atau tidak. Disebut-sebut oleh manusia atau tidak.
Keikhlasan  janganlah dijadikan alasan untuk tidak profesional dan tidak mau  tampil. Profesionalisme merupakan karakter hamba yang dicintai Allah dan  merupakan tuntutan amal da’wi dan amal tarbawi. Dengan kepribadian dan  dengan profesionalisme seseorang dituntut untuk tampil ke depan agar  masyarakat melihat citra Islam yang baik.
Gerakan dakwah harus  memiliki tokoh dan sekarang saatnya bagi aktivis dakwah untuk ditokohkan  di masyarakat melalui berbagai sarana. Masyarakat kita memerlukan tokoh  bersih dan idealis. Semua upaya memunculkan tokoh janganlah dibenturkan  dengan keikhlasan. Pemunculan tokoh dalam tiap bidang adalah bagian  dari kerja dakwah jangka menengah dan jangka panjang. Proses ke sana itu  harus dilakukan dengan profesional.
Penutup kalam bahwa ikhlas  adalah salah satu rahasia Allah yang tidak dapat diketahui oleh manusia,  kecuali Allah saja dan orang yang bersangkutan. Jadi tidak ada alasan  bagi kita untuk menilai seseorang, ikhlas atau tidak ikhlas. Wallahu  a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar